![]() |
تجلّي الكَلام: تدبّر في المسجد الحرام
Bismillaahirrahmaanirrahiim
Malam-malam Ramadhan di Masjid al-Haram adalah seperti lautan cahaya dan doa. Di antara gemuruh suara imam dan tangisan hamba-hamba yang rindu, terbitlah makna dari setiap ayat yang turun bak hujan rahmat.
Shalat tarawih dan tahajjud di Masjid al-Haram bukan sekadar ibadah malam semata, melainkan juga momentum tadabbur al-Qur’an—terutama bagi jemaah yang mampu memahami langsung makna ayat-ayat yang dilantunkan imam. Ia menjadi jendela munajat dan dialog spiritual seorang hamba dengan Khaliq-nya. Betapa mahal nilai ibadah ini jika dapat diikuti sejak awal hingga khatam, malam demi malam.
Qaddarallaahuhu wa maa syaa-a fa‘ala, Ramadhan 1446 H, aku mengikuti ibadah tarawih di Masjid al-Haram dari malam ke-5 hingga malam ke-29. Doa khatam al-Qur'an dibacakan oleh Syaikh ‘Abdurrahman as-Sudais hafizhahullah pada rakaat terakhir sebelum rukuk, bukan di witir.
Di antara malam-malam yang berkesan adalah malam ke-11 dan malam ke-20, saat Syaikh Bandar Balilah hafizhahullah membaca ayat-ayat tentang Nabi Musa ‘alaihis salaam. Di malam ke-11 itu, ketika lantunan ayat Musa menggema, aku terdiam. Ribuan orang di sekelilingku, namun rasanya hanya aku dan Allah.
Jika Musa pun tersungkur tak sadarkan diri saat menyaksikan tajalli-Nya, apalah daya seorang hamba penuh dosa sepertiku? Di tengah bacaan itulah, ayat-ayat tentang Musa menggema dan menancap dalam kesadaran.
{قُلْ هُوَ نَبَأٌ عَظِيمٌ (67) أَنْتُمْ عَنْهُ مُعْرِضُونَ (68)} [ص: 67، 68]
“Katakanlah (Muhammad): Dia (Al-Qur’an) adalah berita besar, yang kalian tentangnya berpaling.” (QS. Shad: 67–68)
Salah satu yang mengguncang kesadaranku adalah ayat 143 Surat Al-A‘raf, ketika Musa memohon untuk melihat Allah setelah menerima kalam langsung dari-Nya:
{وَلَمَّا جَاءَ مُوسَى لِمِيقَاتِنَا وَكَلَّمَهُ رَبُّهُ قَالَ رَبِّ أَرِنِي أَنْظُرْ إِلَيْكَ قَالَ لَنْ تَرَانِي وَلَكِنِ انْظُرْ إِلَى الْجَبَلِ فَإِنِ اسْتَقَرَّ مَكَانَهُ فَسَوْفَ تَرَانِي فَلَمَّا تَجَلَّى رَبُّهُ لِلْجَبَلِ جَعَلَهُ دَكًّا وَخَرَّ مُوسَى صَعِقًا فَلَمَّا أَفَاقَ قَالَ سُبْحَانَكَ تُبْتُ إِلَيْكَ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُؤْمِنِينَ (143)} [الأعراف: 143]
"Dan tatkala Musa datang untuk munajat pada waktu yang telah Kami tentukan dan Rabb telah berfirman (langsung) kepadanya, berkatalah Musa: 'Wahai Rabb-ku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau.' Dia berfirman: 'Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku, tapi lihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku.' Tatkala Rabb-nya bertajjali, menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata: 'Maha Suci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau dan aku orang yang pertama-tama beriman.'" (QS. Al-A‘raf: 143)
Diskusi Kalam dalam Jejak Ulama
Kalamullah (perkataan Allah) yang langsung ini begitu agung. Namun Musa tetap tidak diizinkan melihat. Aku berusaha menghayatinya. Musa, seorang nabi dan rasul ulul ‘azmi, mengalami tajalli ilahi bukan dengan penglihatan. Ia menyerap kebesaran-Nya lewat iman yang meluruhkan kesadaran dan rasa tunduk yang meniadakan ego.
Dalam diam, ia menyaksikan bahwa Allah tidak dapat dilihat dengan mata, tetapi dapat diserap oleh iman dan tunduknya qalbu.
Ketika mendengar ayat ini, tak ada tergambar di pikiranku bahwa ketika Musa mendengar kalam tersebut, apakah seperti suara manusia lelakikah atau wanitakah? Apakah suaranya besarkah atau lembutkah? Karena aku tidak ragu bahwa Dia adalah berbeda secara esensial dari semua makhluknya. Sekali pun manusia ada berkata-kata, Allah ada berkata-kata, maka tentu kaifiat Dia berkata-kata adalah tidak bisa disamakan dengan kaifiat manusia berkata-kata.
Penting di sini untuk menegaskan, sebagaimana difirmankan oleh Allah sendiri:
{لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ (11)} [الشورى: 11]
"Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat." (QS. Asy-Syura: 11)
Ayat ini menjadi landasan utama aqidah Ahlus Sunnah wal Jamaah, sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh Muhammad Nasib ar-Rifa’iy rahimahullaah (wafat tahun 1992 M) menulis:
وَفِي هَذِهِ الْآيَةِ رَدٌّ عَلَى جَمِيعِ أَهْلِ الْأَهْوَاءِ مِنَ الْمُؤَوِّلَةِ وَالْمُشَبِّهَةِ وَالْمُعَطِّلَةِ، وَدَلِيلٌ لِمَذْهَبِ أَهْلِ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ فِي إِثْبَاتِ الصِّفَاتِ وَنَفْيِ مُمَاثَلَتِهِ تَعَالَى لِلْمَخْلُوقَاتِ.
“Dan dalam ayat ini terdapat bantahan terhadap seluruh pengikut hawa nafsu, dari kalangan para ahli takwil (muʾawwilah), orang-orang yang menyerupakan Allah dengan makhluk (musyabbihah), dan para penolak sifat (muʿaṭhṭhilah); serta menjadi dalil atas mazhab Ahlus Sunnah wal Jamaah dalam menetapkan sifat-sifat Allah dan menafikan adanya keserupaan Allah Yang Mahatinggi dengan makhluk-makhluk-Nya.” (Ar-Rifa’i, At-Tafsir al-Wadhih ‘ala Nahj as-Salaf ash-Shalih, Amman, Ad-Dar al-Atsariyah, hal.483)
Perdebatan Ulama tentang Kalamullah
Setelah Ramadhan berlalu, gema ayat itu tak juga reda dari hatiku. Di tengah keheningan pasca ibadah, aku kembali menyelami literatur kalam yang dahulu pernah kukaji. Ternyata, apa yang awalnya hanya gema dalam jiwa, mulai membuka tabir perenungan yang lebih dalam—menuju diskusi klasik para ulama tentang makna kalamullah.
Tadabburku terhadap ayat ini tidak berhenti pada gema spiritual, tetapi menjalar kepada bisikan akal. Aku mulai membaca lagi dan merenung: bagaimana para ulama berbeda-beda pendapat kala menafsirkan "kalamullah"?
Bagaimana Musa bisa mendengarnya? Apakah kalam itu suara? Apakah ia huruf? Apakah ia sifat? Ini obyek-obyek yang diperdebatkan dalam kitab-kitab ilmu kalam.
Asal penamaan “ilmu kalam” sendiri menunjukkan betapa sentralnya topik kalamullah dalam sejarah pemikiran Islam. Asy-Syahrastani rahimahulllah (wafat tahun 548 H) yang merupakan seorang yang punya ilmu mendalam tentang aliran-aliran pemikiran kaum muslimin mencatat tentang asal penamaan ilmu kalam:
وَسَمَّوْهَا بِاسْمِ الْكَلَامِ، إِمَّا لِأَنَّ أَظْهَرَ مَسْأَلَةٍ تَكَلَّمُوا فِيهَا وَتَقَاتَلُوا عَلَيْهَا، هِيَ مَسْأَلَةُ الْكَلَامِ، فَسُمِّيَ النَّوْعُ بِاسْمِهَا، وَإِمَّا لِمُقَابَلَتِهِمُ الْفَلَاسِفَةَ فِي تَسْمِيَتِهِمْ فَنًّا مِنْ فُنُونِ عِلْمِهِمْ بِالْمَنْطِقِ، وَالْمَنْطِقُ وَالْكَلَامُ مُتَرَادِفَانِ
“Mereka menamai ilmu ini dengan sebutan "kalam" karena dua alasan utama:
1. Perdebatan Utama Mengenai Kalam: Masalah paling menonjol yang mereka perbincangkan dan bahkan menyebabkan perselisihan adalah persoalan kalām (sifat berbicara Allah). Oleh karena itu, seluruh cabang ilmu ini dinamai berdasarkan isu sentral tersebut.
2. Tanggapan terhadap Filsuf: Sebagai bentuk tanggapan terhadap para filsuf yang menamai salah satu cabang ilmu mereka dengan istilah "manṭiq" (logika), sementara kata "manṭiq" dan "kalām" secara bahasa memiliki makna yang berdekatan, yaitu pembicaraan atau diskursus.” (Asy-Syahrastani, Al-Milal wa an-Nihal, Kairo, al-Halabi 1/29)
Fakhruddin ar-Razi rahimahullah (wafat tahun 606 H), seorang teolog pakar ilmu kalam, menjelaskan dua kutub utama dalam perdebatan kalamullah: ketika mengupas masalah kalam (perkataan) Allah subhanahu wata’a kepada Musa ‘alaihis salam dalam ayat ini 143 Surat Al-A’raf ini:
اعْلَمْ أَنَّهُ تَعَالَى بَيَّنَ الْفَائِدَةَ الَّتِي لِأَجْلِهَا حَضَرَ مُوسَى عَلَيْهِ السَّلَامُ الْمِيقَاتَ وَهِيَ أَنْ كَلَّمَهُ رَبُّهُ، وَفِي الْآيَةِ مَسَائِلُ شَرِيفَةٌ عَالِيَةٌ مِنَ الْعُلُومِ الْإِلَهِيَّةِ.
الْمَسْأَلَةُ الْأُولَى: دَلَّتِ الْآيَةُ عَلَى أَنَّهُ تَعَالَى كَلَّمَ مُوسَى عَلَيْهِ السَّلَامُ وَالنَّاسُ مُخْتَلِفُونَ فِي كَلَامِ اللَّهِ تَعَالَى فَمِنْهُمْ مَنْ قَالَ: كَلَامُهُ عِبَارَةٌ عَنِ الْحُرُوفِ الْمُؤَلَّفَةِ الْمُنْتَظِمَةِ ومنهم من قال: كلامه صفة حقيقة مُغَايِرَةٌ لِلْحُرُوفِ وَالْأَصْوَاتِ. أَمَّا الْقَائِلُونَ بِالْقَوْلِ الْأَوَّلِ فالعقلاء المحصلون اتّفقوا عَلَى أَنَّهُ يَجِبُ كَوْنُهُ حَادِثًا كَائِنًا بَعْدَ أَنْ لَمْ يَكُنْ. وَزَعَمَتِ الْحَنَابِلَةُ وَالْحَشْوِيَّةُ أَنَّ الْكَلَامَ الْمُرَكَّبَ مِنَ الْحُرُوفِ وَالْأَصْوَاتِ قَدِيمٌ وَهَذَا الْقَوْلُ أَخَسُّ مِنْ أَنْ يَلْتَفِتَ الْعَاقِلُ إِلَيْهِ وَذَلِكَ أَنِّي قُلْتُ يَوْمًا إِنَّهُ تَعَالَى إِمَّا أَنْ يَتَكَلَّمَ بِهَذِهِ الْحُرُوفِ عَلَى الْجَمْعِ أَوْ عَلَى التَّعَاقُبِ وَالتَّوَالِي، وَالْأَوَّلُ: بَاطِلٌ لِأَنَّ هَذِهِ الْكَلِمَاتِ الْمَسْمُوعَةَ الْمَفْهُومَةَ إِنَّمَا تَكُونُ مَفْهُومَةً إِذَا كَانَتْ حُرُوفُهَا مُتَوَالِيَةً فَأَمَّا إِذَا كَانَتْ حُرُوفُهَا تُوجَدُ دُفْعَةً وَاحِدَةً فَذَاكَ لَا يَكُونُ مُفِيدًا الْبَتَّةَ، وَالثَّانِي: يُوجِبُ كَوْنَهَا حَادِثَةً لِأَنَّ الْحُرُوفَ إِذَا كَانَتْ مُتَوَالِيَةً فَعِنْدَ مَجِيءِ الثَّانِي يَنْقَضِي الْأَوَّلُ، فَالْأَوَّلُ حَادِثٌ لِأَنَّ كُلَّ مَا ثَبَتَ عَدَمُهُ امْتَنَعَ قِدَمُهُ وَالثَّانِي حَادِثٌ لِأَنَّ كُلَّ مَا كَانَ وُجُودُهُ مُتَأَخِّرًا عَنْ وُجُودِ غَيْرِهِ فَهُوَ حَادِثٌ فَثَبَتَ أَنَّهُ بِتَقْدِيرِ أَنْ يَكُونَ كَلَامُ اللَّهِ تَعَالَى عِبَارَةً عَنْ مُجَرَّدِ الْحُرُوفِ وَالْأَصْوَاتِ مُحْدَثٌ.
إِذَا ثَبَتَ هَذَا فَنَقُولُ لِلنَّاسِ هاهنا مَذْهَبَانِ: الْأَوَّلُ: أَنَّ مَحَلَّ تِلْكَ الْحُرُوفِ وَالْأَصْوَاتِ الْحَادِثَةِ هُوَ ذَاتُ اللَّهِ تَعَالَى وَهُوَ قَوْلُ الْكَرَّامِيَّةُ. الثَّانِي: أَنَّ مَحَلَّهَا جِسْمٌ مُبَايِنٌ لِذَاتِ الله تعالى كالشجرة وغير وَهُوَ قَوْلُ الْمُعْتَزِلَةِ.
أَمَّا الْقَوْلُ الثَّانِي: وَهُوَ أَنَّ كَلَامَ اللَّهِ تَعَالَى صِفَةٌ مُغَايِرَةٌ لِهَذِهِ الْحُرُوفِ وَالْأَصْوَاتِ فَهَذَا قَوْلُ أَكْثَرِ أَهْلِ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ. وَتِلْكَ الصِّفَةُ قَدِيمَةٌ أَزَلِيَّةٌ. وَالْقَائِلُونَ بِهَذَا الْقَوْلِ اخْتَلَفُوا فِي الشَّيْءِ الَّذِي سَمِعَهُ مُوسَى عَلَيْهِ السَّلَامُ.
فَقَالَتِ الْأَشْعَرِيَّةُ: إِنَّ مُوسَى عَلَيْهِ السَّلَامُ سَمِعَ تِلْكَ الصِّفَةَ الْحَقِيقِيَّةَ الْأَزَلِيَّةَ قَالُوا: وَكَمَا لَا يَتَعَذَّرُ رُؤْيَةُ ذَاتِهِ مَعَ أَنَّ ذَاتَهُ لَيْسَتْ جِسْمًا وَلَا عَرَضًا فَكَذَلِكَ لَا يَبْعُدُ سَمَاعُ كَلَامِهِ مَعَ أَنَّ كَلَامَهُ لَا يَكُونُ حَرْفًا وَلَا صَوْتًا. وَقَالَ أَبُو مَنْصُورٍ الْمَاتُرِيدِيُّ: الَّذِي سَمِعَهُ مُوسَى عَلَيْهِ السَّلَامُ أَصْوَاتٌ مُقَطَّعَةٌ وَحُرُوفٌ مُؤَلَّفَةٌ قَائِمَةٌ بِالشَّجَرَةِ فَأَمَّا الصِّفَةُ الازلية التي ليست بحرف ولا صوت فداك مَا سَمِعَهُ مُوسَى عَلَيْهِ السَّلَامُ الْبَتَّةَ فَهَذَا تَفْصِيلُ مَذَاهِبِ النَّاسِ فِي سَمَاعِ كَلَامِ اللَّهِ تَعَالَى.
"Ketahuilah bahwa Allah ta’ala telah menjelaskan hikmah dari kehadiran Nabi Musa ‘alaihis salam pada waktu perjanjian (miqāt), yaitu bahwa Rabb-nya berbicara langsung kepadanya. Dalam ayat ini terdapat sejumlah persoalan agung dalam ilmu-ilmu ketuhanan (al-‘ulum al-ilahiyah).
Masalah pertama: Ayat ini menunjukkan bahwa Allah benar-benar berbicara kepada Musa ‘alaihis salam. Namun, para ulama berbeda pendapat tentang hakikat kalam (perkataan) Allah ta’ala. Sebagian berpendapat bahwa kalam-Nya adalah rangkaian huruf-huruf yang tersusun dan teratur, sementara yang lain mengatakan bahwa kalam adalah suatu sifat hakiki yang berbeda dari huruf dan suara.
Adapun kelompok pertama, dari kalangan rasionalis dan filosof, sepakat bahwa kalām seperti itu haruslah sesuatu yang baru (muḥdats), karena tersusun dari huruf-huruf yang datang secara berurutan.
Sedangkan sebagian kelompok Hanabilah dan Hasywiyyah mengklaim bahwa kalam berupa huruf dan suara adalah qadim (azali) telah ada sejak semula, Dan ini adalah pendapat yang sangat lemah dan tak layak untuk dipertimbangkan.
Aku (Al-Razi) pernah mengatakan: jika kalam itu diucapkan sekaligus secara serentak, maka itu tidak akan bermakna (tak punya arti); dan jika ia datang secara berurutan, maka itu berarti ia baru (terjadi setelah sebelumnya ia tidak ada). Maka, kesimpulannya: jika kalam Allah dianggap sebagai sekadar huruf dan suara, maka ia adalah sesuatu yang baru (muḥdata), bukan qadim.
Berdasarkan hal ini, terdapat dua pandangan di kalangan manusia:
• Pertama, kalam yang berupa huruf dan suara itu terjadi pada (dalam) Dzat Allah sendiri—ini adalah pendapat al-Karramiyyah.
• Kedua, bahwa tempat terjadinya suara itu adalah pada benda terpisah dari Dzat Allah, seperti pohon dan sebagainya—dan ini adalah pendapat al-Mu‘tazilah.
Adapun pendapat kedua, yaitu bahwa kalam Allah adalah sifat yang berbeda dari huruf dan suara, maka ini adalah pendapat mayoritas Ahlus Sunnah wal Jama‘ah, dan mereka meyakini bahwa sifat tersebut adalah qadim dan azali.
Namun, mereka pun berbeda pendapat tentang apa yang sebenarnya didengar oleh Nabi Musa ‘alaihis salam:
• Kelompok Asy‘ariyyah mengatakan bahwa Musa mendengar sifat hakiki yang qadim itu sendiri. Mereka berargumen: sebagaimana tidak mustahil melihat Dzat Allah meskipun tidak berupa jasad atau sifat materi, maka tidak mustahil pula mendengar kalam-Nya meskipun tidak berupa huruf atau suara.
• Sedangkan Abu Manshur al-Maturidi mengatakan bahwa Musa mendengar suara-suara yang terpotong dan huruf-huruf yang tersusun, yang terdapat pada pohon. Adapun sifat azali yang bukan huruf maupun suara, maka itu tidaklah didengar oleh Musa.
Inilah rincian perbedaan pendapat tentang hakikat pendengaran terhadap kalam Allah ta’ala." (Ar-Razi, Kitab At-Tafsir al-Kabir, Beirut, Dar Ihya’ ats-Turats al-‘Arabi, th. 1420 H, 13/353)
Sementara itu di antara riwayat pernyataan Abu Al-Hasan Ali bin Isma’il al-Asy’ari rahimahullah (wafat tahun 324 H) tentang kalam Allah subhanahu wata’ala ialah:
وَزَعَمَتِ الجَهْمِيَّةُ – كَمَا زَعَمَتِ النَّصَارَى – أَنَّ كَلِمَةَ اللَّهِ تَعَالَى حَوَاهَا بَطْنُ مَرْيَمَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا،وَزَادَتِ الجَهْمِيَّةُ عَلَيْهِمْ، فَزَعَمَتْ أَنَّ كَلَامَ اللَّهِ مَخْلُوقٌ حَلَّ فِي شَجَرَةٍ، وَكَانَتِ الشَّجَرَةُ حَاوِيَةً لَهُ،فَلَزِمَهُمْ أَنْ تَكُونَ الشَّجَرَةُ بِذَلِكَ الكَلَامِ مُتَكَلِّمَةً،وَوَجَبَ عَلَيْهِمْ أَنْ مَخْلُوقًا مِنَ المَخْلُوقِينَ كَلَّمَ مُوسَى صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ،وَأَنَّ الشَّجَرَةَ قَالَتْ: يَا مُوسَى إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ، لَا إِلَٰهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدْنِي،فَلَوْ كَانَ كَلَامُ اللَّهِ مَخْلُوقًا فِي شَجَرَةٍ، لَكَانَ المَخْلُوقُ قَالَ: يَا مُوسَى إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ، لَا إِلَٰهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدْنِي،وَقَدْ قَالَ تَعَالَى: وَلَٰكِنْ حَقَّ القَوْلُ مِنِّي لَأَمْلَأَنَّ جَهَنَّمَ مِنَ الجِنَّةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ،وَكَلَامُ اللَّهِ مِنَ اللَّهِ تَعَالَى، فَلَا يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ كَلَامُهُ الَّذِي هُوَ مِنْهُ مَخْلُوقًا فِي شَجَرَةٍ مَخْلُوقَةٍ،كَمَا لَا يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ عِلْمُهُ الَّذِي هُوَ مِنْهُ مَخْلُوقًا فِي غَيْرِهِ، تَعَالَى اللَّهُ عَنْ ذَٰلِكَ عُلُوًّا كَبِيرًا.
“Dan kaum al-Jahmiyyah beranggapan – sebagaimana kaum Nasrani beranggapan – bahwa kalimat Allah ta‘ala berada dalam rahim Maryam radhiyallahu ‘anha. Lalu al-Jahmiyyah melampaui mereka, dengan mengklaim bahwa kalam Allah adalah makhluk yang menempati sebuah pohon, dan pohon itu menjadi wadah bagi kalam tersebut.
Maka mereka harus menerima konsekuensi bahwa pohon itu, karena kalam tersebut, menjadi makhluk yang berbicara. Dan mereka pun terpaksa meyakini bahwa makhluk dari makhluk-makhluklah yang berbicara kepada Nabi Musa shallallaahu ‘alaihi wasallam dan bahwa pohon itu berkata: “Wahai Musa, sesungguhnya Aku adalah Allah, tidak ada tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku.”
Seandainya kalam Allah adalah makhluk yang berada dalam sebuah pohon, maka makhluk itulah yang berkata: “Wahai Musa, sesungguhnya Aku adalah Allah, tidak ada tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku.” Padahal Allah ta‘ala berfirman: “Akan tetapi telah pasti perkataan-Ku: Sungguh Aku akan memenuhi neraka Jahannam dari golongan jin dan manusia semuanya.”
Dan kalam Allah berasal dari Allah ta‘ala, maka tidak mungkin kalam-Nya yang berasal dari-Nya itu adalah makhluk yang berada dalam pohon yang diciptakan, sebagaimana tidak mungkin ilmu-Nya, yang juga berasal dari-Nya, merupakan makhluk yang berada dalam selain-Nya. Mahatinggi Allah dari anggapan seperti itu, setinggi-tingginya.” (Al-Ibanah ‘an Ushul ad-Diyanah, Riyadh, Dar al-Fadhilah, th.1432 H-2011 M, hal. 313)
Kesan Pengalaman Spiritual Ramadhan
Pengalaman spiritual dalam Ramadhan kali ini menyadarkanku bahwa kemuliaan seorang hamba bukan terletak pada seberapa jauh ia bisa memahami perbedaan madzhab, melainkan seberapa dalam ia bisa menyerap keagungan ayat—dan menjadi hamba yang bertobat, sebagaimana Nabi Musa mengucap:
سُبْحَانَكَ تُبْتُ إِلَيْكَ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُؤْمِنِينَ
“Maha Suci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau dan aku orang yang pertama-tama beriman.”
Betapa mulianya tajalli itu, bukan pada rupa yang terlihat, tapi pada cahaya iman yang terbit di dalam hati. Di situlah maqam Musa ‘alaihis salam yang harus menjadi cermin bagi kita semua.
Berapa banyak di antara kita yang meminta sesuatu kepada Allah, namun Allah memberi kita perasaan takjub akan kebesaran-Nya yang membuat kita justru tunduk dalam diam, seperti Musa.
Ramadhan seharusnya menjadi momentum kita mengalami ‘tajalli’ secara ruhani—saat semua kesibukan sirna dan hanya Allah yang nyata di hati. Ramadhan bukan hanya bulan puasa, tapi bulan ta'ajjub, kekaguman akan kalam Sang Pencipta.
{شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ (185)} [البقرة: 185]
“Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (QS. Al-Baqarah: 185)
Dengan al-Qur’an, Ramadhan adalah miqat kita. Miqat untuk berdialog dengan Allah tatkala membaca, menyimak dan menghayati firman-Nya. Bukan untuk melihat-Nya dengan mata, tetapi merasakan diri kita sepenuhnya dalam genggaman dan pengawasan-Nya.
Malam-malam itu di Masjid al-Haram menyisakan satu kesan yang tak tergantikan: bahwa kalamullah bukan hanya bahan diskursus, tapi hembusan ruh yang mengguncang qalbu. Jika Musa saja sujud karena satu ayat, tidakkah kita malu bila mendengar seluruh al-Qur'an tanpa berubah sedikit pun?
Doa Penutup
Di antara gemuruh kalam para imam dan tangis para hamba, aku pulang dari Masjid al-Haram bukan hanya membawa hafalan ayat, tetapi juga rasa gentar. Kalamullah bukan sekadar lafaz, tetapi pancaran keagungan-Nya yang meluluhkan jiwa dan menyapa hati.
Semoga aku—dan kita semua—termasuk di antara mereka yang tunduk, meski tak mampu melihat, tapi tetap teguh beriman.
اَللَّهُمَّ اجْعَلْنَا مِمَّنْ يَسْتَمِعُونَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُ
“Ya Allah, jadikanlah kami termasuk orang-orang yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti yang terbaik darinya.”
Sebagaimana yang Engkau firmankan:
{الَّذِينَ يَسْتَمِعُونَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُ أُولَئِكَ الَّذِينَ هَدَاهُمُ اللَّهُ وَأُولَئِكَ هُمْ أُولُو الْأَلْبَابِ (18)} [الزمر: 18]
“Orang-orang yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal.” (QS. Az-Zumar: 18)
Amiin, wahai Rabb Pemilik al-Qur’an.
Pariaman, Sabtu, 13 Syawwal 1446 H / 12 April 2025 M
Tulisan ini bisa dibaca di http://mahadalmaarif.com