![]() |
لَيْلَةُ السَّكِينَةِ وَالطُّمَأْنِينَةِ
Bismillahirrahmanirrahim
Sore ini aku kembali melaksanakan shalat ashar hingga magrib di pinggiran kawasan thawaf daur tsani.
Tadi dua jemaah kemarin minta ditemani thawaf sunnah, ternyata mereka telah melaksanakannya sebelum zhuhur. Salah seorang dari mereka memberitahu lewat pesan WhatsApp serta bertanya tentang zakat fitrah:
"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh
Izin bertanya, Ustadz, perihal zakat fitrah.
Adek ipar saya kerja di Jepang, dia mau zakat fitrah di kampung.
Bagaimana untuk zakat fitrahnya, Ustadz? Apakah mata uang/harga beras di Jepang atau tetap di Indonesia?"
Aku jawab singkat:
"Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh. Harga 3 kg beras di Jepang. Wallaahu a'lam."
Aku pun akhirnya melaksanakan thawaf sunnah sendiri di daur tsani hingga selesai sekitar pukul setengah lima sore.
Aku berdoa kepada Pemilik Ka'bah agar Dia beri aku tempat duduk yang nyaman untuk berbuka dan shalat, serta rezeki paket perbukaan tanpa menzalimi atau dizalimi. Alhamdulillah, Dia takdirkan aku mendapatkan apa yang kuminta itu.
Menjelang shalat isya, kembali aku ingin ke toilet untuk shalat lebih khusyuk. Karena ada hadits shahih dari Aisyah radhiyallaahu 'anha bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
لا صَلَاةَ بحَضْرَةِ الطَّعَامِ، ولَا هو يُدَافِعُهُ الأخْبَثَان
"Tidak ada shalat di hadapan makanan, dan (tidak ada shalat pula) dalam keadaan ia menahan dua kotoran (buang air besar atau kecil)." (HR. Muslim, no. 560)
Aku turun dari pintu Ajyad. WC 3 tampak ditutup dari depan, dan pelatarannya diblokir, tanda bahwa jemaah sedang ramai.
Maka aku menuju ke WC 8. Dua kali menaiki eskalator ke bawah untuk sampai ke lantai paling bawah dengan harapan jemaah tak terlalu antre.
Setelah buang air besar dan berwudhu, aku kembali ke pelataran masjid, belum tahu akan ditakdirkan shalat isya dan tarawih di mana. Ternyata turun hujan gerimis.
Tampak banyak jemaah berdoa mengangkat kedua tangan karena rahmat turun. Aku juga mengucapkan doa:
اللَّهُمَّ صَيِّبًا نَافِعًا
Allahumma shayyiban nafi’a
"Ya Allah, (jadikanlah hujan ini) hujan yang bermanfaat."
Sebagaimana laporan Aisyah radhiyallaahu 'anha:
"Sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, apabila melihat hujan, beliau berdoa:
اللَّهُمَّ صَيِّبًا نَافِعًا
"Ya Allah, (jadikanlah hujan ini) hujan yang bermanfaat." (HR. al-Bukhari, no. 1032)
Aku menatap langit, butiran gerimis jatuh lembut, membasahi lantai marmer Masjid al-Haram. Tidak deras, namun cukup untuk meninggalkan jejak basah di sajadah. Bau tanah yang terkena hujan bercampur dengan aroma parfum jemaah yang masih menempel di udara. Aku mengingat doa Syaikh Yassir dua malam lalu dalam qunut tahajjud, meminta agar Allah subhanahu wata'ala menurunkan hujan sebagai rahmat.
Aku tidak tahu apakah ini pertanda lailatul qadar. Tapi aku teringat sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadits dari Abdullah bin Unais radhiyallaahu ‘anhu:
أُرِيتُ لَيْلَةَ القَدْرِ، ثُمَّ أُنْسِيتُهَا، وَأَرَانِي صُبْحَهَا أَسْجُدُ في مَاءٍ وَطِينٍ.
"Aku diperlihatkan (waktu) lailatul qadar, lalu aku dilupakan (waktunya), dan aku melihat bahwa pada pagi harinya aku bersujud di atas tanah yang berlumpur dan basah." (HR. Muslim, no. 1168)
Langit tampak lebih tenang, seolah ikut mengamini doa-doa yang dipanjatkan di sekelilingku.
Untuk mencari tempat yang lebih aman, aku pergi ke emperan bawah Menara Jam Makkah. Ternyata jemaah telah padat mengambil tempat-tempat yang dibatasi dengan lakban.
Aku berhasil membuka sajadah di barisan shaf darurat karena hujan. Aku melaksanakan shalat isya dan tiga kali salam tarawih.
Ada dua masalah di tempat ini. Pertama, suara speaker lorong itu kurang jelas. Kedua, banyak pedagang yang tidak ikut shalat tarawih. Mereka bicara macam-macam dengan suara tinggi tanpa menghormati orang-orang yang tengah melaksanakan shalat. Dari gaya bahasa mereka, aku kira mereka berkebangsaan Saudi.
Aku teringat firman Allah subhanahu wata'ala:
أَجَعَلْتُمْ سِقَايَةَ الْحَاجِّ وَعِمَارَةَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ كَمَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَجَاهَدَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ۚ لَا يَسْتَوْنَ عِندَ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
"Apakah (kalian) menganggap memberi minum jamaah haji dan memakmurkan Masjidil Haram itu sama dengan orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir serta berjihad di jalan Allah? Mereka tidaklah sama di sisi Allah. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang zalim." (QS. at-Taubah: 19)
Setelah selesai tiga kali salam, imam jeda sejenak. Aku mencari tempat lain. Hujan masih terasa. Aku mendapat tempat di emperan mal di bawah Menara Jam Makkah (dulu bagian dari Hilton Makkah).
Di sini aku menuntaskan sisa rakaat tarawih bersama imam, yaitu Syaikh Mahir al-Mu’aiqli.
Lalu jemaah berpencar kembali. Menunggu shalat tahajjud yang akan dimulai pada pukul 00.30.
Suasana malam terasa sejuk. Tidak panas dan tidak terlalu dingin. Angin lembut berembus, membawa ketenangan yang sulit dijelaskan. Makkah pada malam-malam ganjil ini terasa berbeda, seolah langit lebih dekat, dan doa-doa lebih cepat naik ke hadapan-Nya.
Aku teringat hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لَيْلَةُ الْقَدْرِ لَيْلَةٌ سَمِحَةٌ، طَلِقَةٌ، لَا حَارَّةٌ وَلَا بَارِدَةٌ، تُصْبِحُ الشَّمْسُ صَبِيحَتَهَا ضَعِيفَةً حَمْرَاءَ.
"Lailatul qadar adalah malam yang tenang, cerah, tidak panas dan tidak dingin. Pada pagi harinya, matahari terbit dengan cahaya yang lemah dan berwarna kemerahan." (HR. Ibnu Khuzaimah, no. 2192)
Apakah malam ini benar-benar lailatul qadar? Aku tidak tahu. Yang kutahu, hati ini terasa lebih ringan. Dosa-dosa lalu berkelebat di benak, dan aku memohon ampunan dengan doa yang diajarkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam:
اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي
"Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf, Engkau menyukai pemaafan, maka maafkanlah aku."
Amin, wahai Rabb Pemilik Ramadhan.
Masjid al-Haram, Makkah, Rabu, 26 Ramadhan 1446 H/26 Maret 2025 M
Zulkifli Zakaria
Tulisan ini bisa dibaca di
http://mahadalmaarif.com