![]() |
المُصَلَّي حَقٌّ لِلْجَمِيْعِ
Bismillahirrahmanirrahim.
Hari Jum’at terakhir bulan Ramadhan 1446 Hijriah, aku bertekad melaksanakan shalat Jum’at di dalam bangunan Masjid al-Haram. Bukan seperti pekan lalu yang hanya bisa di atas aspal beberapa ratus meter dari dinding Masjid dari arah Jarwal.
Maka sebelum jam 9 aku telah berada di pelataran, tapi diarahkan oleh aparat untuk menuju at-tausi’ah, perluasan Masjid al-Haram. Ternyata mushallayat, area shalat yang dibatasi dan diberi karpet telah hampir penuh. Aku mencoba memasuki beberapa areal bersama jemaah lain yang bernasib sama, tetapi tak kutemukan celah untuk membentangkan sajadah.
Maka kawasan lorong di samping mushallayat menjadi tempat bagi jemaah yang datang belakangan. Aku pun turut masuk dalam shaf mereka. Aku buka sajadah sandar, lalu melakukan shalat sunnah dhuha. Baru selesai salam, terdengar suara asykar (petugas keamanan) menyuruh kami bubar karena tempat ini adalah jalan. Kami disuruh mencari ke dalam mushallayat.
Aku bersama orang-orang senasib kembali masuk mushallayat. Aku berjalan memegang sajadah sandar dan sandal serta menyandang tas kecil.
Aku berdiri kebingungan. Wajah-wajah Arab telah mendominasi karpet-karpet hijau. Banyak yang membawa selimut tebal, bantal, dan tempat-tempat bersandar besar. Ada yang menempati karpet yang sebenarnya cukup untuk empat orang.
Melihat aku terbingung, salah seorang Arab memakai yashmagh (penutup kepala khas Saudi atau Arab) merah memanggilku. Ia menyuruhku mengisi shaf kedua di belakang orang berpakaian ihram di samping kirinya, yang juga berwajah Arab. Ia mengangkat selimut tebalnya, dan aku membuka sajadah sandar di belakangnya. Ternyata di belakang kami bersusun-susun alat-alat tidur.
Sementara banyak jemaah berjalan mondar-mandir mencari peluang meletakkan sajadah.
Beberapa asykar berusaha mencarikan tempat. Salah seorang dari mereka berbicara lantang kepada yang mendominasi tempat:
المُصَلَّي حَقٌّ لِلْجَمِيْعِ
"Tempat shalat adalah hak untuk semua orang."
Ia menegaskan bahwa tidak bijak jika seseorang menjadikan tempat di sebelahnya sebagai tempat barang-barangnya. Setiap orang punya hak seukuran shalat dirinya.
Namun, banyak lelaki Arab yang duduk di sana membantah si asykar ini.
Fenomena ini mengingatkanku kepada firman Allah subhanahu wata'ala:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
"Wahai manusia! Sesungguhnya Kami telah menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kalian saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti." (QS. Al-Hujurat: 13)
Juga hadits khutbah al-Wada’ dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallaahu ‘anhuma bahwa salah satu pesan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam khutbah perpisahan beliau ialah:
يا أيُّها الناسُ إنَّ ربَّكمْ واحِدٌ ألا لا فضلَ لِعربِيٍّ على عجَمِيٍّ ولا لِعجَمِيٍّ على عربيٍّ ولا لأحمرَ على أسْودَ ولا لأسودَ على أحمرَ إلَّا بالتَّقوَى إنَّ أكرَمكمْ عند اللهِ أتْقاكُمْ
"Wahai manusia! Sesungguhnya Rabb kalian adalah satu. Ketahuilah, tidak ada keutamaan bagi orang Arab atas orang non-Arab, dan tidak pula bagi orang non-Arab atas orang Arab. Tidak pula bagi yang berkulit merah atas yang berkulit hitam, dan tidak pula bagi yang berkulit hitam atas yang berkulit merah, kecuali dengan ketakwaan. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah yang paling bertakwa." (HR. Abu Nu'aim dalam Hilyat al-Awliya’, 3/100)
Hadis ini menegaskan prinsip kesetaraan dalam Islam, bahwa kemuliaan seseorang tidak bergantung pada asal-usul, warna kulit, atau kebangsaan, melainkan pada ketakwaannya kepada Allah subhanahu wata’ala.
Seharusnya, adab dalam masjid menuntut kita untuk saling memberi kemudahan bagi sesama Muslim. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِذَا سَمِعْتُمُ الإقَامَةَ، فَامْشُوا إلى الصَّلَاةِ وعلَيْكُم بالسَّكِينَةِ والوَقَارِ، ولَا تُسْرِعُوا، فَما أدْرَكْتُمْ فَصَلُّوا، وما فَاتَكُمْ فأتِمُّوا
"Apabila kalian mendengar iqamah, maka berjalanlah menuju shalat dengan tenang dan penuh kewibawaan. Jangan tergesa-gesa. Apa yang kalian dapati, maka shalatlah, dan yang kalian tertinggal, maka sempurnakanlah." (HR. Al-Bukhari no. 636)
Meskipun pagi ini aku menyaksikan betapa sulitnya sebagian orang berbagi tempat shalat, ternyata tidak semua jemaah memiliki sikap yang sama. Di waktu yang berbeda, aku menemukan pemandangan yang lebih menyejukkan hati.
Fenomena dominasi ini bertolak belakang dengan kejadian yang kualami sore kemarin.
Dari shalat dhuhur siang Kamis hingga selesai shalat tarawih malam Jum’at, yaitu sekitar jam 10 malam, aku bertahan di satu tempat saja, di salah satu kawasan yang diberi batas dekat lokasi thawaf daur tsani.
Jemaah yang banyak di tempat tersebut adalah orang-orang Afrika, di samping juga ada etnis lainnya. Ketika ada kesempatan video call dengan keluarga di Pariaman yang sedang menunggu waktu berbuka, aku berkata, "Abi duduk di kawasan orang-orang Afrika," sambil mengarah ponsel ke kiri dan ke kanan.
Saat pendistribusian paket berbuka, ternyata tak ada air minum dalam semua paket. Air minum harus diambil sendiri atau menunggu sedekah air zamzam yang tersedia di tabung-tabung.
Setelah lewat jam 6, aku berdiri untuk mengambil air zamzam. Aku ambil dua gelas plastik, lalu kembali ke sajadahku. Satu gelas untukku dan satu lagi aku berikan kepada orang Afrika di samping kananku.
Ketika akan berbuka, seorang bapak tua asal Indonesia duduk di samping kanan lelaki Afrika ini. Saat shalat maghrib dimulai, lelaki Afrika ini membiarkan sajadahnya dipakai oleh bapak Indonesia itu, sementara ia sendiri pindah mundur ke shaf belakang.
Setelah shalat, aku tanya si bapak. Rupanya ia berasal dari Bangkalan, Jawa Timur. Aku kira usianya di atas 70 tahun.
Ia balik bertanya, maka aku katakan bahwa aku berasal dari Padang, Indonesia.
"Apakah anda keturunan Yaman? Di kampungku banyak orang keturunan Yaman," katanya.
"Tidak," jawabku.
Si pemilik sajadah membiarkan bapak tua ini duduk di sajadahnya hingga shalat isya. Saat iqamah shalat isya, ia mengambil tempat di kananku, tetapi tempat sangat sempit. Ia hanya sebentar di sana, lalu pindah ke belakang. Ia menarik tanganku agar menggeser ke kanan supaya shaf lebih rapat. Ia biarkan sajadahnya dipakai orang lain hingga selesai shalat.
Aku salut. Betapa mulia akhlak lelaki Afrika pemilik sajadah itu. Ia hormati orang tua yang berusaha mendekat kepadaku karena mereka memiliki kedekatan sebagai sesama Muslim dari Indonesia.
Dua fenomena yang sangat bertolak belakang: satu di malam hari, satu lagi di pagi harinya, tetapi keduanya terjadi di Masjid al-Haram.
Di hadapan Ka'bah, semua manusia sama. Tapi di antara manusia, ada yang masih melihat perbedaan. Maka ujian bagi kita adalah, apakah kita akan meniru yang memuliakan sesama atau justru yang mengutamakan diri sendiri?
اللَّهُمَّ اجْعَلْنَا مِنَ الْمُتَّقِينَ وَاهْدِنَا إِلَى سَوَاءِ السَّبِيلِ
"Ya Allah, jadikanlah kami termasuk orang-orang yang bertakwa dan bimbinglah kami ke jalan yang lurus."
Masjid al-Haram, Makkah, Jum’at, 28 Ramadhan 1446 H / 28 Maret 2025 M
Zulkifli Zakaria
Tulisan ini bisa dibaca di http://mahadalmaarif.com