![]() |
Tuanku Titip Ketika Mewawancarai H.Ahmad Yusuf Tuanku Sidi |
MU-Online-Bermula di Limpato. Seorang ulama mengajar di situ, di sebuah surau. Tuanku Doyok namanya.
Limpato tak begitu jauh dari Lubuak Pua, kampungnya H. Ahmad Yusuf Tuanku Sidi. Masih dalam wilayah VII Koto Sungai Sariak.
Hanya kenagariannya yang berbeda. Limpato masuk Nagari Sungai Sariak, sedangkan Lubuak Pua masuk Nagari Balah Aie. Di Limpato, Tuanku Doyok yang tamatan Surau Kalampaian Ampalu Tinggi ini "merasul".
Mengajar anak mengaji, anak siak dinamakan. Kalau sekarang santri. Banyak orang mengaji sama Tuanku Doyok ini di Limpato itu.
Ahmad Yusuf muda, dari tahun 1978 hingga 1980 mengaji di Limpato ini. Ya, terbilang dua tahun lebih mengaji dengan Tuanku Doyok ini.
Lazim di zaman itu, para calon dan kader ulama mengaji dengan banyak guru, menetap di banyak surau. Berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain.
Dari Limpato, Ahmad Yusuf pindah ke Lubuk Pandan. Dari 1981 hingga lima tahun kemudian, Ahmad Yusuf sepertinya dapat tempat di Pesantren Madrasatul 'Ulum ini.
Termasuk anak siak yang cerdas, pintar, banyak senior yang dilampauinya dalam mengaji. Gagah iya pula, pintar berkomunikasi, sehingga dalam usia yang relatif muda, Ahmad Yusuf tuntas mengkhatam sejumlah kitab kuning.
1985-1986, Ahmad Yusuf masuk proses penamatan kaji. Jadi marapulai namanya. Bersama H. Mahyuddin Tuanku Bagindo, santri asal Lubuak Pua, yang sebelum masuk Lubuk Pandan, mengaji di Ampalu Tinggi.
Kemudian, yang juga seangkatan dengan Ahmad Yusuf jadi marapulai kaji, adalah Arifin Tuanku Kuniang, santri asal Pauh Kambar dan Nazwar Tuanku Mudo asal Batagak, Kabupaten Agam.
Jadi marapulai alias mengaji langsung dengan guru besar Buya Abdullah Aminuddin Tuanku Shaliah, tentu para santri sudah memikul tanggung jawab di pesantren itu.
Tanggung jawab jadi guru tuo, mengajar santri yunior, mengelola anak siak yang ramai, tersebar di sejumlah surau dan asrama.
Rombongan Ahmad Yusuf jadi marapulai kaji ini terkenal kelompok santri hebat. Kelak, semuanya berhasil jadi tokoh masyarakat dan tokoh ulama, mendirikan pesantren di kampungnya masing-masing.
Ahmad Yusuf sendiri, setelah tamat marapulai, diminta mengajar di Surau Lubuak Pauah, masih di Lubuk Pandan.
Sekitar sekilo dari Madrasatul 'Ulum arah ke Balai Satu, di situlah Surau Lubuak Pauah. Ada 23 orang santri yang ikut bersamanya mengaji di Lubuak Pauah itu.
Tentu santri yang ikut dari Madrasatul 'Ulum ini atas izin dan restu dari Buya Abdullah Aminuddin Tuanku Shaliah, sang guru besar pesantren.
Di antara 23 orang itu, ada nama Zainuddin Tuanku Bagindo Basa, yang kelak jadi pengasuh Madrasatul 'Ulum Lubuak Pua.
Zainuddin Tuanku Bagindo Basa ini asal Ulakan. Sama dengan mendiang Lukman Hakim Tuanku Bagindo Sati, dari Ulakan yang juga ikut pindah ke Surau Lubuak Pauah itu.
Setahun lebih di Lubuak Pauah, tahun 1987 Ahmad Yusuf memilih pindah dan pulang kampung, ke Lubuak Pua. Ahmad Yusuf di Lubuk Pandan terbilang guru tuo mentereng.
Dia satu-satunya guru tuo yang sudah pakai motor. Kalau pun ada santri lain berkendaraan, paling sepeda. Tapi, Ahmad Yusuf bisa kian kemari naik motor.
Ahad, 5 Mei 2024 Titip Elyas Tuanku Sulaiman dari MU-Online wawancara langsung dengan Pimpinan Pondok Pesantren Madrasatul 'Ulum Lubuak Pua ini di kediamannya, di Pincuran Sonsang, Nagari Balah Aie Timur.
Dari 1987 itulah Ahmad Yusuf beradaptasi dengan masyarakat kampungnya sendiri, Lubuak Pua. Dan nama Pesantren Madrasatul 'Ulum yang dilekatkan ke Surau Pekuburan Lubuak Pua ini, mulainya 1991, setelah sekian banyak proses panjang nan melelahkan.
Sementara, kawan seangkatan dengan Ahmad Yusuf di Lubuk Pandan juga tak kalah hebatnya sesampai di kampungnya.
Nazwar Tuanku Mudo sempat mendirikan Pesantren Ainul Yaqin di Batagak. Pesantren modern yang melahirkan para cendikiawan.
Lalu, H. Mahyuddin Tuanku Bagindo yang juga sekampung dengan Ahmad Yusuf tak kalah hebatnya. Jadi tokoh ulama, didatangi banyak orang.
Dia masyhur sebagai "tukang obat". Banyak tamu yang datang, mengadukan banyak persoalan ke Mahyuddin ini.
Begitu juga Arifin Tuanku Kuniang di Pauh Kambar, Kecamatan Nan Sabaris, Kabupaten Padang Pariaman.
Di Lubuak Pua sendiri, Surau Pekuburan ini pernah jaya dulunya. Tuanku Bagindo Lubuak Pua terkenal dengan kebesarannya.
Tuanku Bagindo Lubuak Pua, 1875-1955, punya pengaruh tersendiri di VII Koto Sungai Sariak. Zaman jaya Lubuak Pua ini, tak terbilang anak siak banyaknya mengaji di situ, yang kemudian harinya pun jadi ulama, mendirikan surau dan pesantren di kampungnya masing-masing.
Hadirnya Irigasi Ujuang Gunuang yang kemudian mengaliri ribuan hektar sawah masyarakat di sepanjang alirannya, adalah rintisan Tuanku Bagindo Lubuak Pua.
Dia yang menggerakkan masyarakat untuk bersama-sama bergotong royong, membuat aliran air itu.
Banyak surau dan masjid yang tidak selesainya bangunannya, oleh masyarakat Tuanku Bagindo ini tempat mengadunya.
Ahmad Yusuf yang lahir 1966 ini pulang kampung dari belajar dan mengajar di Lubuk Pandan, adalah ingin mengembalikan nama besar Surau Pekuburan ini.
Tentu tak lupa mengaji dan bersilaturahmi. Tiba di kampung, terdengar ada pengajian bersama di Ampalu Tinggi, Ahmad Yusuf pun hadir dalam pertemuan banyak ulama itu dengan Tuanku Haji Ibrahim.
Pasca 1955, sepeninggal Tuanku Bagindo, Surau Pekuburan pun ditinggal penghuninya. Penghuni para anak siak, sudah hilang, pindah mengaji, mungkin sebagian pulang ke kampung, dan yang lainnya mungkin merantau.
Lubuak Pua pun sepi. Orang banyak pun takut melintasi tempat itu. Kuburan masyarakat bejibun banyaknya di situ. Termasuk Tuanku Bagindo sendiri bermakam di komplek Surau Pekuburan itu.
Tak ada orang sembahyang, tidak pula ada lagi anak-anak mengaji malam ke surau itu, setelah kepergian Tuanku Bagindo.
Ahmad Yusuf, suami Emy, ayah dari enam orang putra dan putri ini punya kemampuan yang cukup luar biasa untuk kembali memulihkan nama besar Surau Pekuburan ini.
Dia coba rangkul kawannya, Tuanku Nasir untuk tinggal di Surau Pekuburan itu. Tapi tak pula lama kesanggupan ulama asal Ulakan ini tinggal di situ.
Perjuangan Ahmad Yusuf tak mengenal lelah. Segala kebijakan yang dilakukannya, demi untuk kemajuan Surau Pekuburan, selalu pula ditentang oleh masyarakat.
"Membuat pengeras suara saja, luar biasa sulitnya. Ditentang oleh niniak mamak, tokoh masyarakat," cerita Ahmad Yusuf.
Tapi, Ahmad Yusuf tak kehilangan akal. Kekerasan masyarakat dihadapinya dengan lunak dan sabar.
Berbulan-bulan lamanya Ahmad Yusuf mendatangi tokoh masyarakat ke rumahnya masing-masing, demi untuk meyakinkan kebijakan pakai alat pengeras suara ketika azan dan mengaji.
Itu pun tak selalu mulus. "Kalau tak bersua siang, malam. Kadang tengah malam kita ke rumah tokoh masyarakat itu," sebutnya.
Satu keyakinan dan niat Ahmad Yusuf, pulang kampung dari Lubuk Pandan untuk menegakkan agama, menghidupkan surau, menolong agama Allah SWT, di kampungnya sendiri, Lubuak Pua.
Apapun yang terjadi, cemoohan banyak orang, penentangan dari masyarakat, dijadikannya penyemangat dalam menghidupkan kembali Surau Pekuburan.
Terus berjalan. Berjalan, bergerak di tengah keributan di luar sana, terutama dari masyarakat yang tidak suka dengan kemajuan.
Tidak suka melihat aktivitas surau hidup, shalat berjamaah tiap waktu, anak mengaji ramai, dengan sendirinya hilang begitu saja.
Tahun 1991 pun tiba. Surau Pekuburan mulai ada kemajuan, tetapi masih belum merata. Masih ada orang yang merasa takut ke sana.
Ahmad Yusuf datang ke Lubuk Pandan. Minta Zainuddin Tuanku Bagindo Basa untuk bisa mengajar di Lubuak Pua.
Tentu permintaan itu langsung ke Buya Abdullah Aminuddin Tuanku Shaliah. Zainuddin pun santri asuhan Ahmad Yusuf dulunya.
Alhamdulillah, permintaan itu dikabulkan. Zainuddin pun memulai di Lubuak Pua. Awal mula dia sendiri di situ. Kalau tak waktu sembahyang, tidak pula waktu anak mengaji, terasa sepi dan sunyi Lubuak Pua.
Ahmad Yusuf tentu tak bisa tiap hari mendampingi Zainuddin di Surau Pekuburan. Dia lebih banyak di luar, mencari uang, mencari dukungan untuk kelanjutan surau itu sendiri.
Siang berganti malam, bulan datang, tahun pun berganti. Satu dua Satri di Lubuk Pandan yang mengaji dengan Zainuddin, pindah ke Lubuak Pua.
Pun orang kampung yang sudah tamat Quran ikut mengaji kitab bersama Zainuddin.
Lubuak Pua pun ramai. Dari mana-mana orang datang. Nama besar Tuanku Bagindo pun mencuat kembali. Dari berbagai pelosok jemaah datang berziarah ke makam Tuanku Bagindo.
Hingga sekarang, Zainuddin Tuanku Bagindo Basa terus istiqamah mengasuh santri dan santriwati. Banyak yang tamat, lalu mengabdi, dan melanjutkan pendidikan, serta mengajar di tempat lain. (***)