![]() |
Ungku Saliah (1887-1974) |
MU-ONLINE--Ungku Saliah (1887-1974) adalah ulama hebat, tembus pandang, punya kedalaman ilmu dan sangat masyhur hingga saat ini.
Tak banyak orang yang tahu nama Ungku Saliah ini. Begitu kehebatan dan kepopuleran gelar "tuanku" yang melekat di dirinya.
Konon, Ungku Saliah ini melekat sejak dia mengaji di Ampalu Tinggi. Rajin beribadah, tinggi adab, elok perangai, sehingga para anak siak yang sesama mengaji dengan dia menggelari dia dengan sapaan Ungku Saliah.
Saat lahir 1887, dari ibunya Tuneh, perempuan Sungai Sariak bersuku Sikumbang dan ayah Turih bersuku Mandahiliang, namanya dilekatkan "Dawaik".
Lama mengaji, lebih cendrung perangainya di luar kelaziman banyak orang, maka Ungku Saliah pun tersebut sebagai ulama keramat.
Di makamnya di Sungai Sariak tertulis makam "Syekh Kiramatullah Ungku Saliah". Tak ada namanya dimasyhurkan. Nama yang diberikan oleh kedua orangtuanya, Dawaik.
Begitu benarlah masyarakat dan keluarganya menghormati dia. Ada rasa tidak sopan, rasa berdosa ketika disebut namanya barangkali oleh orang dulu.
Lihat saja di dinding kedai nasi urang awak di luar daerah Padang Pariaman, hampir semuanya memajang foto Ungku Saliah. Ada rasa bangga dan senang, serta ada rasa berkah ketika foto itu ditarok di rumah, kedai atau perkantoran.
Namun, oleh sebagian orang yang tidak tahu soal Ungku Saliah kadang dengan gampangnya terkesan mencomooh, melecehkan serta merendahkan Ungku Saliah itu sendiri.
Kiasan
"Pulanglah, lai. Hari ka ujan labek," begitu kira-kira Ungku Saliah menyuruh para pedagang Pasar Lubuk Alung di tengah panas yang terik di hari pakan.
Di zaman agresi Belanda rentang 1945-1950, dimana perang mempertahankan kemerdekaan dimana-mana masih bergejolak.
Orang yang tahu dan mengerti akan bahasa kiasan Ungku Saliah, segera berkemas dan memilih bergegas pulang.
Dan tak sedikit pula dari pedagang itu memilih tidak menghiraukan ajakan Ungku Saliah, alias tetap menggelar dagangannya di hari pakan itu.
Dan tak lama setelah seruan Ungku Saliah, memang Belanda menghujani kawasan Lubuk Alung ini dengan mortir.
Jadi mortir yang dijatuhkan dari udara, oleh Ungku Saliah dikiaskan sebagai hujan lebat.
Itulah cara orang sufi menyebarkan dakwah, menyelamatkan umat dari ancaman penjajah yang ingin kembali merebut Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang baru saja diproklamasikan oleh Bung Karno dan Bung Hatta.
Di tempatnya di Sungai Sariak, Ungku Saliah dengan banyak tamu dan masyarakat menggelar zikir. Kusuk, cukup lama dan panjang.
Di tengah zikir itu, Belanda membombardir Sungai Sariak dengan mortir. Tetapi Ungku Saliah bersama jemaah yang sedang zikir tak mempan.
Dilaporkan, mortir itu berserak jatuh ke kolam di luar suraunya. Zikir dipimpin oleh ulama hebat, mendalami keilmuan thariqat, dekat dengan Allah SWT, aman dari ancaman kematian oleh mortir.
Itulah kesan yang tergambar oleh orang, yang kemudian hari berkembang jadi cerita dari mulut ke mulut. Ungku Saliah memang luar biasa.
Belanda pun bengis pada Ungku Saliah ini. Sempat ditahan di penjara, tapi selalu ditemukan orang di luar penjara.
Bahkan Belanda merasa bosan dengan tingkah polah ulama ini. Masak sudah di masukan ke penjara, tapi masih berkeliaran di luar, dan dilihat oleh banyak orang dan tentara Belanda itu sendiri.
Dengan ini, Ungku Saliah hendak mengajarkan masyarakat untuk selalu zikir. Zikir dituntut kapan dan dimana saja. Sedang duduk, berdiri, berjalan atau sedang berkegiatan lain, tetaplah berzikir.
Zikir bisa secara zahar atau mengeraskan suara, bisa pula secara sir atau tersirat alias zikir dalam hati. Memahami dan mengamalkan serta mendekatkan diri pada Sang Pencipta.
Berzikir, dia sendiri yang memulai. Bukan sekedar diajarkan. Tetapi Ungku Saliah memang gemar berzikir, senang beribadah, sehingga dia diberikan kelebihan oleh Allah SWT, "keramat".
Ungku Bagindo Lubuak Pua
Sama dengan Ungku Saliah, Ungku Bagindo Lubuak Pua ini juga jarang disebut namanya. Bahkan, para jemaah yang mewiridkan ziarah ke Lubuak Pua ini, banyak yang tidak tahu nama asli Ungku Bagindo ini.
Ungku Bagindo (1875-1955) sedikit lebih tua dari Ungku Saliah. Konon, Ungku Saliah sangat menghormati Ungku Bagindo ini. Hormat lahir dan batin.
Suatu ketika di sore hari, Ungku Saliah hendak pergi mandi. Mandi petang di Sungai Batang Mangoi. Sungai besar yang terkenal itu.
Berjalan dari suraunya arah ke barat menuju sungai itu, diiringi sejumlah anak muridnya. Tiba di tepi sungai, Ungku Saliah tertegun dan memilih berdiri diam di tepi sungai.
Anak murid pun penasaran. Seorang diantara murid itu bertanya, kok diam se Ungku. Kenapa tidak langsung mandi? Tanya sang murid.
Ungku Saliah menjawab, "rang gaek sadang mandi di baruah,". "Tak sopan kita mandi di atas, sementara rang gaek mandi di bawah.
Jarak tempat dari sungai yang sama itu, antara tempat mandi Ungku Saliah dengan Ungku Bagindo cukup jauh.
Ada sekitar dua kilometer dari Surau Pekuburan, tempat Ungku Bagindo tinggal ke surau Ungku Saliah di Sungai Sariak, bagian atas dari Surau Pekuburan.
Tapi ketajaman mata batin Ungku Saliah, tampak oleh dia Ungku Bagindo sedang mandi. Itulah ketembusan pandangan mata batin orang yang karam dalam lautan tauhid.
Oleh Ungku Saliah, Ungku Bagindo ini sepertinya guru yang sangat dia hormati. Kegiatan maulid nabi dan mendoa di suraunya tak bisa dimulai, sebelum Ungku Bagindo tiba.
Ungku Bagindo, gelar yang familiar disandang Muhammad Umar. Dia ulama besar, tokoh masyarakat dan seorang niniak mamak di Lubuak Pua.
Surau Pekuburan tempat dia mengajar, mendidik kader ulama dan calon orang siak. Tak terbilang banyaknya orang mengaji di Surau Pekuburan itu dulunya.
Pengaruh Ungku Bagindo terasa memberikan sesuatu bagi masyarakat. Ada surau dan masjid yang tidak kunjung selesai bangunannya, oleh masyarakat Ungku Bagindo tempat mengadu.
Sehingga banyak surau dan masjid yang terbengkalai, ketika "dikakok" Ungku Bagindo, selesai bangunannya.
Dan demikian itu terkenal di sepanjang Nagari Balah Aie hingga Sungai Durian. Kemudian, hadirnya Irigasi Ujuang Gunuang yang mengaliri ribuan hektar sawah masyarakat di Sungai Sariak hingga ke Balah Aie, adalah rintisan Ungku Bagindo Lubuak Pua. (***)