![]() |
Pengasuh Madrasatul 'Ulum Lubuk Pua Zainuddin Tuanku Bagindo Basa menerima batu pertama pembangunan asrama putri dari anggota DPRD Sumbar, Firdaus |
MU-Online--Senang dan paling suka minta maaf pada siapapun sehabis berinteraksi dengannya, tampak sekali dari sikap Buya H. Zainuddin Tuanku Bagindo Basa.
"Maaf ambo a. Atau maaf Yo," kata dia sehabis bicara dengan lawan bicaranya lewat telpon dan atau usai bicara langsung misalnya.
Tentu sebuah sikap yang tak dibuat-buat. Mengalir begitu saja, dari kerendahan hatinya. Dan demikian itu, juga bagian dari amalan karena manusia tak pernah luput dari salah dan khilaf.
Saya sudah mengenal Buya ini sejak tahun 1990 an. Dia punya banyak nama dan gelar, serta sapaan oleh banyak orang. Nama lengkapnya Zainuddin.
Nama yang diberikan oleh kedua orangtuanya ketika lahir ke dunia. Nama yang rancak menurut agama, dan bagian dari doa kedua orangtua saat lahir.
Di kampungnya, terutama yang lebih tua dari dia memanggilnya, Enek. Mungkin saja karena badannya tak terlalu besar. Sehingga, zaman saya mondok dulu, dia disapa oleh yuniornya dengan sapaan "Tuo Enek".
Lama mengaji dan mondok di Madrasatul 'Ulum Lubuk Pandan, dan sebelumnya di Tapakis, Buya ini termasuk ulama yang beruntung. Bertemu dan mengaji langsung dengan ulama hebat, Syekh H. Musa Tapakis dan Syekh H. Abdullah Aminuddin Tuanku Shaliah Lubuk Pandan.
Di Tapakis, sebuah nagari tak jauh dari Padang Toboh Ulakan, kampungnya Zainuddin. Masa kecilnya dia habiskan dengan mengaji di Tapakis ini.
Tiap hari bolak-balik dengan sepeda. Sore berangkat dari rumah, pulang ke rumah lagi besok paginya menjelang jam sekolah.
Di Tapakis inilah menetap dan mengajar seorang ulama besar, Syekh H. Musa. Tepatnya di Kabun, Tapakis. Syekh H. Musa Tapakis lahir 1907, dalam perjalanan menuntut ilmunya bersua dengan Syekh H. Abdullah Aminuddin Tuanku Shaliah Lubuak Pandan (1908-1996), di Ampalu Tinggi dengan Syekh Muhammad Yatim (1868-1951).
Inyiak Tapakis dan Inyiak Lubuak Pandan ini seangkatan. Lahir dan mengaji di zaman yang Indonesia belum ada. Masih Hindia Belanda.
Makanya, di zaman dulu itu banyak santri dari Tapakis ikut pula mengaji di Lubuak Pandan. Sebaliknya juga begitu.
Zainuddin, satu diantaranya. Lama dia mengayuh sepeda dari Padang Toboh ke Tapakis. Tak sendirian dia. Ada dua tiga kawan sekampungnya yang ikut bersamanya ke Surau Kabun yang terletak di tepi Sungai Batang Tapakis itu.
Lama mengaji, lalu diangkat jadi tuanku 1994 pun dikelilingi oleh ulama besar dan punya pengaruh yang amat luar biasa. Dia diresmikan jadi tuanku di kampungnya, Kampung Paneh Padang Toboh.
Yang mengangkatnya jadi tuanku, adalah Syekh Ali Imran Hasan Ringan-Ringan, Syekh Abdullah Aminuddin Tuanku Shaliah, dan ulama lainnya yang terkesan sangat sakral.
Dia bertiga sekali dinobatkan jadi tuanku. Dua rekannya, mendiang Lukman Hakim Tuanku Bagindo Sati, dan Ibrahim Tuanku Sutan.
Bergelar Tuanku Bagindo Basa. Tentu atas kesepakatan antara guru dan niniak mamak dalam nagari. Dan dia pun sering dan banyak orang menyapanya dengan sebutan Tuanku Basa atau karena cepat menyebutnya langsung saja "Nku Basa".
Berkah guru, adalah impian setiap murid. Di samping dua ulama besar Ringan-Ringan dan Lubuak Pandan, Tuanku Kuniang Marah Ganti, ayahnya Ibrahim Tuanku Sutan menanti ulama besar itu sebagai tuan rumah tentunya.
Dan sepertinya, berkah demikian, terpatri dalam diri Buya Zainuddin Tuanku Bagindo Basa. Mengikuti irama kehidupan di bawah tuntutan keberkahan, membuat dia tak terpengaruh oleh dinamika yang terjadi di lingkungannya.
Senang dan suka, tentunya sekalian sunnah Rasul, dia memelihara jenggot. Tak sedikit pula orang memanggilnya "Nku Jangguik".
Sepertinya, sejak tamat sekolah umum, Buya Zainuddin ini tak pernah lepas dari persoalan belajar dan mengajar. Hobi membaca, dan suka sekali beli kitab dan buku, menjadi penambah ilmu dan pengetahuannya.
Ruangan tamu rumah kediamannya di komplek Pondok Pesantren Madrasatul 'Ulum Lubuk Pua tak pernah rapi. Kitab dan buku berserak, tanda sering dilihat dan dibaca tentunya.
Hampir tiap pekan, selalu datang tukang pos, atau petugas JNE mengantar pesanannya berupa kitab dan buku. Dari dulu hingga sekarang, sudah ribuan kitab yang dibacanya.
Ruangan tamu sudah bentuk ruangan pustaka saja. Begitu juga salah satu ruangan di pesantren juga berjejer oleh kitab dan buku.
Banyak kitab baru, hasil karya ulama kontemporer yang dipunyainya. Dia tak banyak cakap. Ketika ceramah, banyak hikmah dan pelajaran, serta cerita dan iktibar dari kisah-kisah zaman dulu.
Buya kelahiran 1969 ini jarang melawak. Dan sepertinya, cerita yang mengandung banyak manfaat lebih patut disampaikan, ketimbang melawak.
Mengajar di Madrasatul 'Ulum Lubuk Pua, Nagari Balah Aie Utara, Kecamatan VII Koto Sungai Sariak, Buya Zainuddin tak pernah sepi dari tamu. Ada dan selalu saja tiba tamu dari berbagai kampung.
Tentu persoalan banyak hal pula tamu itu datang ke pondoknya yang sederhana itu. Ada yang sekedar curhat soal konflik dalam kampung, cerita soal pertanian, dan ada juga yang minta didoakan, lewat sebotol air putih untuk obat bagi tamu dan keluarganya, misalnya.
Dan banyak pula yang minta dirukyah lewat bacaan ayat Quran. Tamu ini datang lengkap dengan anak atau dunsanaknya yang sedang sakit. Lalu oleh Buya Zainuddin dirukyah.
Namun, ketika jam dia sedang mengajar, tamu harus sabar menunggu sampai selesai baru dilayaninya.
Sebab, mengajar adalah tugas pokok dalam pengabdiannya yang panjang di pesantren yang ikut didirikannya bersama Buya H. Ahmad Yusuf Tuanku Sidi itu.
Tak heran, tamu yang sudah tahu jamnya tak pernah datang pagi. Paling siang hingga malam.
Hanya tamu baru yang belum tahu jamnya mengajar, sering tiba pagi. Tapi beruntung, bila pagi itu libur mengaji, seperti hari Kamis, misalnya langsung saja ke tujuan maksud.
Sepertinya, Buya Zainuddin, ayah dari tiga orang putra-putri ini mewarisi ulama besar dan hebat zaman dulu. Belajar tawaduk dan rendah hati dari Buya Musa Tapakis, Buya Tuanku Shaliah Lubuk Pandan, membuat dia selalu istiqamah.
Alim dan taat beribadah, tentunya bagian dari buah belajar yang panjang dan lama. Tahan akan segala godaan, mampu berlayar di tengah gelombang pasang yang begitu dahsyat, Buya Zainuddin Tuanku Bagindo Basa seorang ulama yang selalu memelihara ketaatannya.
Ditambah lagi, mengajar di Lubuk Pua, sebuah surau yang dulunya banyak melahirkan ulama hebat dan terkenal. Surau Pekuburan, nama asli Pondok Pesantren Madrasatul 'Ulum Lubuk Pua ini.
Terkenal dengan kehebatan seorang ulama besar, Tuanku Bagindo Lubuk Pua. Seorang ulama wara', selalu menjaga ibadah, dan terkenal keramatnya.
Sepertinya, kebesaran nama Lubuk Pua oleh Tuanku Bagindo dulunya, tak terputus. Terus bersambung dan bersambung hingga akhir yang panjang tentunya.
Tiap waktu suara azan bergema di surau itu, membuat pelaksanaan shalat berjemaah tak pernah putus di surau itu. (ad/red)