Nagari Pakandangan, Kecamatan Enam Lingkung terkenal dengan "Serambi Mekkah"-nya Padang Pariaman. Betapa tidak, di nagari inilah terlahir ribuan ulama yang tersebar di Ranah Minang ini.
Hal itu tentu dengan banyaknya berdiri pesantren yang mengembangkan kitab kuning, guna mencetak kader intelektual dan ulama di nagari itu.
Abdullah Aminuddin yang lazim disebut dengan Tuanku Shaliah Pengka oleh masyarakat itu, juga dilahirkan di Pakandangan pada 1908 M, dari pasangan Syekh Mukaddam seorang ulama besar di Sungai Rotan, Pariaman di zamanya dengan Hj. Tiambun asal Jambak, Pakandangan.
Kebesaran Syekh Mukaddam ini di zaman yang dikenal dengan Kolonial Belanda itu, cukup terkenal di Sungai Rotan yang sekarang telah menjadi wilayah Kota Pariaman.
Banyak para santri yang belajar menuntut ilmu di Sungai Rotan kala itu dari Syekh Mukaddam ini. Bahkan ayah Buya Hamka, Dr. Syekh Abdul Karim Amrullah yang populer dengan panggilan Syekh Haji Rasul pernah belajar di sana sebelum belajar ke Makkah Al-Mukarramah, (baca buku Ulama-ulama Oposan).
Disaat itulah Syekh Mukaddam mengembangkan lembaga pendidikan ala surau hingga dia memperoleh keturunan seorang anak yang diberi nama Abdullah Aminuddin, yang kelak juga mendirikan pondok pesantren Madrasatul ‘Ulum di Nagari Lubuk Pandan, Kecamatan 2 X 11 Enam Lingkung.
Sebelum Abdullah Aminuddin mendirikan Madrasatul ‘Ulum pada 1940 M, ia telah mengembara kesana-kemari mencari berbagai ilmu yang kelak beliau kembangkan di pesantrenya itu. Begitu juga suka duka untuk mendirikan sebuah lembaga, tentu banyak dialami pemuda Abdullah Aminuddin.
Maklum, waktu itu masih dalam suasana upaya mengusir penjajah dari bumi pertiwi ini. Namun, berkat kerja sama yang baik dari semua pihak, baik masyarakat Lubuk Pandan, maupun santri yang ada waktu itu, Madrasatul ‘Ulum berdiri dengan sangat sederhana.
Salah seorang alumni Madrasatul ‘Ulum, Drs. H. Buchari Rauf menyebutkan, peranan santri sangat menonjol dalam pembangunan sarana pesantren ini. Sehingga santri berfungsi ganda waktu itu.
Di satu sisi sebagai seorang santri yang tengah menuntut ilmu, dan di sisi lain juga sebagai pengurus yang harus memikirkan serta mengerjakan, bagaimana bangunan pesantren yang sederhana bisa terwujud.
Sebab, sebelum adanya bangunan milik pesantren, para santri harus numpang di surau-surau milik masyarakat. Kendati pun demikian, keduanya tetap sukses, sesuai dengan citi-cita dan harapan dari santri yang datang ke Lubuk Pandan.
Banyak suka duka yang dialami ketika mencari dana pembangunan pesantren ini. Walau pun surat yang kita buat sampai ditandatangani oleh Gubernur Sumatra Barat waktu itu, tetapi yang namanya rintangan dan tantangan tetap juga ditemui di lapangan.
Itulah sebuah risiko untuk melakukan perjuangan. Tugas mencari donator, memang banyak saya yang menangani. Sebab, saya sebagai Sekretaris bangunan pesantren waktu itu, dan juga buya hanya banyak mempercayai masalah mencari dana ini kepada saya.
Disamping upaya mencari donator ke berbagai daerah, mencari uang dengan cara bersama, yakni ketika bulan Syafar, dimana masyarakat muslim banyak yang melakukan ziarah ke Ulakan.
Nah, kita atas nama santri Madrasatul ‘Ulum minta izin kepada masyarakat Nan Sabaris, untuk menstop mobil-mobil yang lewat, guna dimintai sumbangan untuk pembangunan pesantren dimaksud, kata Buchari Rauf.
Dengan kepiawaian itu, buya tidak mau melepaskan saya sebagai pengurus pembangunan pesantren, sampai-sampai saya menjadi anggota DPRD Padang Pariaman (1977-1982), tetap saja menjadi pengurus pembangunan.
Sebagai seorang anggota dewan, saya tetap memperjuangkan pembangunan gedung milik pesantren itu. Namun, disini yang dapat nama itu adalah Iskandar Tuanku Mudo (Alm), karena dia kala itu yang mendampingi buya dalam proses belajar mengajar di pesantren.
Terakhir, bantuan saya yang berkesan dibidang pembangunan, ketika saya duduk di DPRD Sumbar pada 1992-1997, diakhir tugas saya selaku wakil rakyat, anggaran pembangunan pesantren Madrastul ‘Ulum berhasil dimasukkan ke dalam APBD Sumbar, sehingga berhasil mendapatkan dana sebanyak Rp7 juta.
Untung saja waktu diberikan kepada saya tidak berupa uang, melaikan berupa ceks, sehingga uang yang sebanyak itu utuh sampai di pesantren, dan berhasil membangun lokal sebanyak dua lokal dengan bangunan permanen dan bertingkat, yang insya Allah bangunan itu bisa ditingkatkan mencapai empat lantai, lanjut Buchari Rauf.
(Wawancara dengan H. Buchari Rauf, Sabtu (4 Februari 2006, di kediamannya, Ringan-Ringan, Pakndangan).
Untuk menjadi seorang ulama tidak mudah. Banyak onak dan duri yang harus dilalui, perlu menuntut ilmu kepada banyak ulama, sehingga kelak memiliki referensi yang banyak dalam menghadapi tantangan zaman.
Agaknya prinsip ini yang dipakai Abdullah Aminuddin sebelum mendirikan lembaga pendidikan agama, pondok pesantren yang menurut banyak pihak merupakan lembaga pendidikan tertua di nusantara ini.
Di usia 8 tahun ia telah meninggalkan kampung halamanya Pakandangan, untuk menuntut ilmu Al-Quran ke Nagari Ulakan dengan seorang ulama yang bernama Tuanku Bonta. Selesai di Ulakan, ia melanjutkan studinya tentang ilmu Sharaf dengan Tuanku Angin di Koto Tangah, Padang pada 1918 M.
Kurang lebih dua tahun di Padang, Abdullah Aminuddin melanjutkan pendidikannya ke Nagari Bintungan Tinggi, Kecamatan Nan Sabaris Padang Pariaman dengan Tuanku Abdurrahman yang dikenal dengan Syekh Bintungan Tinggi, guna mendalami ilmu fiqh (hukum Islam).
Merasa kurang puas di Bintungan Tinggi, Abdullah Aminuddin kembali ke Ulakan, untuk mendalami ilmu fiqh tersebut. Kemudian setelah bumi Padang Panjang digoyang gempa pada 1926 M, Abdullah Aminuddin melanjutkan studinya ke Kamumuan Kecamatan Sungai Limau dan Manggopoh, Kabupaten Agam dengan Tuanku Muaro yang cukup memiliki kharisma.
Ilmu semakin dituntut, maka semakin terasa pula kekurangan yang dimiliki seseorang. Dengan semangat demikian, Abdullah Aminuddin setelah di Manggopoh, kembali mendalami ilmu yang tersebar di dalam kitab kuning itu ke Ampalu Tinggi, Kecamatan VII Koto Sungai Sariak, Kabupaten Padang Pariaman dengan Syekh Muhammad Yatim atau yang dikenal dengan Tuanku Mudiak Padang.
Selama tiga tahun ia di Ampalu Tinggi, lalu pindah ke Koto Tuo, Kabupaten Agam dengan seorang ulama, yakni Syekh Tuanku Aluma (kakek dari Ismed Ismael Tuanku Mudo, anggota DPRD Sumbar 2004-2009).
Selesai di Koto Tuo, Abdullah Aminuddin melanjutkan studinya secara formal ke Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI) Jaho Padang Panjang bersama Syekh Muhammad Djamil Jaho, salah seorang ulama pendiri Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI) yang terkenal dengan sebutan Inyiak Jaho.
Pada bulan Rabi’ul Akhir 1315 H atau 26 Agustus 1932 M, Abdullah Aminuddin menyelesaikan studinya di Jaho tersebut.
Dengan telah selesainya melakukan pendidikan di Jaho, mandat pertama yang diterima Abdullah Aminuddin dari Inyiak Jaho adalah pergi mengajar ke Sasak, yang saat ini telah menjadi Kabupaten Pasaman Barat (Pasbar).
Sebagai seorang santri, tentu Abdullah Aminuddin tidak mampu menolak perintah gurunya. Sebab, di dunia pesantren perintah guru merupakan sesuatu yang harus ditaati, dan tidak boleh dibantah. "Bisuak angku pai ka Sasak.
Nanti ada orang dari sana yang menjemput," kata Inyiak Jaho kepada Abdullah Aminuddin, seperti yang pernah diceritakannya. Tidak begitu lama Abdullah Aminuddin di Sasak, lalu ia dipindahkan ke Koto Laweh, Padang Panjang, juga atas restu Inyiak Jaho tersebut, setelah sebelumnya sempat pulang kampung dan mengajar di surau Jambak Pakandangan, dimana dulunya Abdullah Aminuddin dilahirkan pada 1908 M.
Merasa kurang puas dengan mengajar di surau milik masyarakat, di tahun 1940 M, di atas tanah yang diwakafkan oleh masyarakat Lubuk Pandan, Abdullah Aminuddin mendirikan sebuah pondok, yang kelak diberi nama dengan pondok pesantren Madrasatul ‘Ulum.
Dalam sejarah hidupnya, Syekh H. Abdullah Aminuddin pernah mempunyai lima orang istri. Istrinya yang pertama bernama Siti Arapah melahirkan seorang putra bernama AH. Datuak Sinaro Nan Panjang.
Kemudian beliau kawin dengan seorang perempuan bernama Siti Nidar, tetapi dengan perempuan yang satu ini beliau tidak mendapatkan keturunan.
Dengan istrinya yang ketiga bernama Jawani, Abdullah Aminuddin mendapatkan dua orang anak, Muhammad Ramli (Alm) dan Abdul Rahman.
Sementara dengan istrinya Nurullah terlahir lima orang putra-putri, Drs. Amiruddin Shaleh, Abdul Majid (Alm), Aisyah, Zainab dan Zubir (Alm). Dan dengan istrinya terakhir, Hj. Gadis beliau mendapatkan sembilan keturunan, Maimunah, Abdul Gafar, Afasah, Abdullah (Alm), Tarmizi, Halimatus Sya’diyah, Yusuf, Muhammad (Alm) dan Fatimah. (**/)